Tidak ada kata terlambat untuk berbuat...dan tidak ada kata sia-sia untuk berkarya...mari kita liukkan pena kita dalam sebuah kanfas harapan agar tercipta sebuah karya yang berjudul "Pencapaian Cita"

Kamis, 02 Juni 2011

Anilisis

ANALISIS TENTANG KASUS BUNUH DIRI

Berita tentang bunuh diri.


SURABAYA - Gara -gara tidak mampu membayar SPP, Miftahul Jannah nekat mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Selepas magrib, bocah 13 tahun yang tinggal di Kelurahan Karang Semande, Kecamatan Karang Malang, Balong Panggang, Gresik, itu menggantungkan setagen sepanjang 395 cm warna putih di lehernya. Kejadian yang berlangsung di kamar korban itu diketahui kali pertama oleh Selimah, bibi korban. Saat itu Selimah baru saja datang dari sawah bersama Weni dan Sami, kakek dan nenek korban. "Saya panggil namanya, tapi kok tidak ada jawaban. Makanya saya lihat kamarnya," tutur Selimah.
Dia sangat terkejut saat menemukan anak pasangan Sutik-Supriyono (sudah cerai) itu tergantung pada setagen yang diikatkan di plafon rumah itu. Tanpa berpikir panjang, perempuan 24 tahun ini langsung menurunkan korban. Lalu didudukkan serta diberi minum. Maksudnya agar dia sadar.
Tangis mengiba dari rumah keluarga tersebut menimbulkan kecurigaan warga setempat. Para tetangga segera berdatangan ke rumah korban. Sementara itu, warga yang lain berinisitif melaporkan kejadian itu ke polisi. Tak lama kemudian, aparat dari Polsek Balong Panggang datang dan mengevakuasi serta melakukan olah TKP. Mayat korban dibawa ke RSU dr Soetomo. Sebelumnya, jenazah Mita sempat dibawa ke RSU Bunder Gresik. Hanya, keluarganya lalu disarankan untuk membawanya ke RSU dr Soetomo untuk otopsi. Menurut dr Eddy Soeyanto SpF, otopsi dilaksanakan sekitar pukul 09.00 Senin. Dari hasil otopsi diketahui bahwa korban dinyatakan bunuh diri.
Mengapa Mita bunuh diri? Atun, adik Sami, mengatakan, korban stres dan bingung karena tidak punya uang biaya tur yang akan diadakan sekolahnya. "Kalau tidak bisa bayar, katanya tidak boleh ikut rekreasi dan ambil ijazah," tuturnya. Ini diketahui dari surat terakhir yang akan dikirim korban ke orang tuanya di Bali. Surat tersebut ditemukan di tumpukan lemari pakaian korban.
Orang tua korban saat ini memang berada di Bali sebagai penjual sayuran di pasar. Mita yang sehari-hari diasuh oleh Weni-Sami mendapat kiriman uang dari Bali. "Hampir dua tahun orang tuanya tidak ke Gresik," ucapnya. Dari surat itu diketahui bahwa Mita minta kiriman uang Rp 25.000-50.000 karena uang yang dikirim sebelumnya sudah habis. Mita minta ibunya segera mengirimkan uang tersebut atau kembali ke Jawa pada bulan 6 (Juni).
 Mita juga bilang, dia tidak mau kalau harus minta ke Pak De Katiran lagi karena dia bilang tidak punya uang. Mita juga berkeluh kesah kalau sudah tidak kerasan lagi karena sering dimarahi emak embah (Wani). Bahkan, Mita juga sempat marah dan sakit hati ketika emak embahnya berkata bahwa dirinya makan dan tidur tidak membayar. Jadi, Mita minta tidak sah minta macam-macam. Hal tersebut membuat Mita sakit hati. (ai)



Referensi analisa diambil dari :

·   Kartini Kartono, Hygiene Mental, Mandarmaju, Bandung, 2000.
·   Musdalifah, Psikologi, STAIN Kudus, 2009.
·   Ken Olson, Psikologi harapan, Pusta kaPelajar, Yogyakarta, 2005


Analisis kasus.

Oleh Durroyun Nafisah


Dari deskripsi kasus diatas, sudah cukup jelas untuk kita analisa mengapa dan bagaimana kasus tersebut bisa terjadi. Sungguh ironis sekali, anak sesusia Mifta mengalami problematika seperti itu, hingga dia mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya.
Bertolok dari kata bunuh diri, bunuh diri merupakan perbuatan manusia yang disadari dan bertujuan untuk menyakiti diri sendiri dan menghentikan kehidupan sendiri.[1] Dari pengertian diatas setidaknya ada beberapa hal yang dapat kita tangkap, diantaranya ada keinginan dan kesadaran untuk mati dan memiliki motivasi-motivasi atau sebab-sebab tertentu.
Kemudian kalau kita lihat kasus Mifta, yang menjadi pertanyaan apa yang menjadi sebab terjadinya keinginan untuk bunuh diri?
Disini analisator akan memaparkan beberapa sebab terjadinya kasus Mifta yang kita hubungkan dengan teori sebab terjadinya bunuh diri. Berikut akan kita ambil 2 permasalahan tentang sebab mengapa Mifta bunuh diri,
Dari diskripsi kasus diatas Mifta melakukan bunuh diri karena tidak memiliki uang untuk membayar SPP (alasan utama) dan  Mita juga berkeluh kesah kalau sudah tidak kerasan lagi karena sering dimarahi embah (Wani). Hal itu menunjukkan karena adanya sikap depresi dan konflik batin yang dialami oleh Mifta, sedangkan kalau kita lihat dalam teori Sebab terjadinya bunuh diri,
Depresi merupakan sebab yang paling banyak mendasari adanya kasus bunuh diri, karena ada indikasi bahwa sebagian besar orang yang melakukan bunuh diri tengah dilanda depresi saat melakukan bunuh diri.[2] Permasalahan yang dialami Mifta cukup memberi pengaruh besar terhadap kehidupan psikisnya, di usia Mifta yang sedini itu, dia sudah dihadapkan dengan bermacam persoalan yang cukup berat untuk anak seusia itu, beban mental akibat kekurangan kasih sayang karena ditinggal orang tua yang berpisah (cerai) dan tinggal jauh dari Mifta juga member efek terendiri terhadap psikis Mifta, sehingga timbul keputusasaan, sehingga muncul  keinginan untuk melepas semua beban dengan cara singkat, dalam hal ini moral yang sebagai benteng tingkah laku roboh karena keputusasaan dan desakan dari keinginan untuk melepas semua bebannya, dan jalan yang tepat serta dianggap pantas oleh Mifta adalah bunuh diri.
Sedangkan dari jenis depresi, kasus Mifta merupakan Jenis dari Depresi reaktif.
Depresi reaktif merupakan akibat dari reaksi pukulan-pukulan dalam kehidupan yang tidak berhenti dengan keputusasaan yang mengandung kesedihan mendalam.[3] Pengertian ini bila dikaitkan dengan kasus Mifta, cukup mewakili bahwa sebab Mifta melakukan bunuh diri, karena Mifta merasa putus Asa dengan kondisinya yang terpaksa bunuh diri karena tidak kuat menanggung beban untuk membayar SPP dan Tour yang akan dilaksanakan oleh sekolahnya, dan diperparah lagi ada ancaman dari pihak sekolah bahwa jika tidak bisa membayar biaya study tour, tidak boleh ikut rekreasi dan mengambil ijazahnya. Hal tersebut menjadikan Mifta putus asa dengan kesedihan yang mendalam.
Kasus Bunuh diri Mita juga bisa digolongkan dalam kategori sebab bunuh diri karena Konflik batin, yaitu stress yang bersumber dari konflik batin atau pertentangan didalam pikiran orang yang bersangkutan.[4] Hal ini terbukti bahwa selain Mifta tidak bisa membayar SPP dan Tour, Mifta juga merasa tidak betah dengan kondisi dirumahnya, karena sering dimarahi oleh neneknya. Hal tersebut sebenarnya sudah berlaku lama, namun Mifta mencoba bertahan dengan kondisi tersebut dan dia hanya bisa berkeluh kesah. Apalagi ditambah ejekan dari neneknya bahwa Mifta makan dan tidur tidak membayar. Hal tersebut menimbulkan adanya konflik batin dalam dirinya.
Sedangkan kalau dilihat dari segi type bunuh diri yang dilakukan Mifta, kasus tersebut manurut analisator merupakan Type Bunuh diri Anomis, menurut Durkheim bunuh diri anomis merupakan keadaan moral ketika orang yang bersangkutan kehilangan cita-cita, tujuan dan norma dalam hidup. Dalam kasus ini individu kehilangan tujuan dan pegangan. Masyarakat atau kelompoknya tidak dapat memberikan kepuasan kepadanya karena tidak ada pengawasan terhadap kebutuhan-kebutuhannya.[5] Hal ini sangat jelas sekali dalam kasus Mifta, Mifta merasa tidak ada pengawasan terhadap kebutuhan-kebutuhannya, karena jauh dari orang tua.
Kemudian dalam bukunya Kartini Kartono, meyebutkan adanya type bunuh diri personal, yang banyak terjadi pada masa modern, karena orang merasa lebih bebas dan tidak mau tunduk pada aturan. Sebaliknya, mereka mencari jalan singkat dengan caranya sendiri, yaitu bunuh diri, untuk mengatasi kesulitan hidupnya.[6] Hal tersebut sangat tergambar jelas dalam kasus Mifta, karena dia lebih memilih mengakhiri hidupnya dengan jalan bunuh diri.
Sedangkan faktor-faktor yang menyebabkan Kasus Mifta bunuh diri dalam teori adalah faktor sosiologis dan faktor ekonomi, faktor sosiologis berupa disintegrasi sosial yang mengakibatkan disintegrasi personal. Hal ini terbukti pada sebab kedua yang dialami oleh Miftah, yaitu pengucilan dari neneknya kepada Miftah, sehingga Miftah terasa dikucilkan.
Yang kedua adalah faktor ekonomi yang sangat jelas memberikan kontribusi yang besar dalam kasus ini. Karena alasan utama mengapa Mifta Bunuh diri adalah faktor ekonomi.
Demikianlah ulasan dari analisator, kurang lebihnya mohon maaf.

Dikotomi Pendidikan

DIKOTOMI PENDIDIKAN DAN SOSIOLOGI ILMU

A.      PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan kunci untuk menapaki masa depan, karena pendidikanlah yang menentukan arah kehidupan kita melalui proses pembelajaran. Begitu urgennya pendidikan menyebabkan pendidikan selalu menjadi ranah yang hangat untuk diperbincangkan.
Berbicara tentang sejarah pendidikan kita sekarang, maka tidak bisa lepas dari sistem pendidikan Islam dan sistem pendidikan yang berasal dari warisan kolonial Belanda yang turut menentukan dinamika pendidikan di negara kita. Terlihat adanya sistem kelas yang dibentuk oleh Belanda yang mana hanya golongan bangsawan (priyayi) saja yang diberikan akses untuk menempuh pendidikan Barat (umum). Sedangkan bagi rakyat pribumi pilihan tidak lain adalah pendidikan pesantren yang berarti lebih bernuansa Islam. Dan tentunya inilah awal babak baru yang menggiring kita akan pemahaman adanya dikotomi antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Dan  ternyata setelah negara kita merdekapun, dikotomi tersebut msih tetap terasa. Dan bahkan ada anggapan bahwa pendidikan islam terkesan di nomorduakan, kualitas lulusannya tidak sebagus yang dari umum, yang semuanya mengesankan  pendidikan Islam ada dalam “kelas nomor dua”.
Dualisme sistem pendidikan tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga melanda hampir seluruh negara muslim. Sehingga hal ini berdampak luas dalam kehidupan,  baik gaya hidup, pola pikir dan aktivitas sosial yang membahayakan dan merugikan umat islam sendiri. Disinilah perlu adanya pengembangan pendidikan Islam yang mampu mewujudkan integrasi antara ilmu umum dam ilmu agama.[1]
Oleh karena itu, dalam makalah ini pemakalah akan merumuskan konsep Integrasi ilmu umum dan ilmu agama, hal ini diharapkan agar dikotomi pendidikan tidak lagi terjadi dalam praktek pengelolaan pendidikan di Indonesia.   

B.       PERMASALAHAN

Dari uraian pendahuluan di atas, maka pemakalah dapat merumuskan beberapa permasalahan. Diantaranya :
1.      Apa pengertian dikotomi pendidikan dan sosiologi ilmu?
2.      Apa faktor- faktor penyebab munculnya dikotomi pendidikan?
3.      Bagaimana dampak dari dikotomi pendidikan?
4.      Bagaimana problem solving dikotomi pendidikan?
5.      Bagaimana sosiologi ilmu berbicara tentang dikotomi pendidikan?


C.   PEMBAHASAN
1.    Pengertian dikotomi pendidikan dan sosiologi ilmu
Di dalam kamus KBBI, istilah dikotomi memiliki arti pembagian atas dua konsep yang saling bertentangan.[2] Dikotomi dalam  bahasa Inggris adalah dichotomy yang artinya pembagian dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua bagian.[3] Ada juga yang mendefinisikan dikotomi sebagai pembagian di dua kelompok yang saling bertentangan. Secara terminologis, dikotomi dipahami sebagai pemisahan antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik lainnya, seperti dikotomi ulama dan intelektual, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam dan bahkan dikotomi dalam diri muslim itu sendiri (split personality) Bagi al- Faruqi, dikotomi adalah dualisme religius dan kultural.[4]
Dengan pemaknaan dikotomi di atas, maka dikotomi pendidikan Islam adalah dualisme sistem pendidikan antara pendidikan agama Islam dan pendidikan umum yang memisahkan kesadaran keagamaan dan ilmu pengetahuan. Dualisme ini, bukan hanya pada dataran pemilahan tetapi masuk pada wilayah pemisahan, dalam operasionalnya pemisahan mata pelajaran umum dengan mata pelajaran agama, sekolah umum dan madrasah, yang pengelolaannya memiliki kebijakan masing-masing. Sistem pendidikan yang dikotomik pada pendidikan Islam akan menyebabkan pecahnya peradaban Islam dan akan menafikan peradaban Islam yang kaffah (menyeluruh).
Sedangkan soisologi Menurut ahli sosiologi Durkheim, sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari fakta-fakta sosial, yakni fakta yang mengandung cara bertindak, berpikir, berperasaan yang berada di luar individu di mana fakta-fakta tersebut memiliki kekuatan untuk mengendalikan individu.[5] Dari pengertian diatas, pemakalah dapat merumuskan bahwa sosiologi ilmu adalah tinjauan ilmu terhadap cara mempelajari fakta-fakta social yang fakta tersebut memiliki kemampuan untuk mengendalikan individu. Bisa disebut juga dengan penerapan ilmu ditinjau dari aspek sosiologi.

2.    Faktor- faktor penyebab munculnya dikotomi pendidikan
Ada beberapa faktor yang ditengarai menjadi penyebab munculnya persoalan dikotomi sistem pendidikan yang sampai sekarang melanda dunia muslim. Antara lain :
a.             Stagnasi Pemikiran Islam
Stagnasi yang melanda dunia Islam terjadi sejak abad XVI hingga abad XVII M. Masyarakat muslim saat itu cenderung hanya mendongak ke atas, melihat gemerlap kejayaan abad pertengahan, sehingga lupa dengan kenyataan yang tengah terjadi di lapangan. Para sarjana barat mengatakan rasa kebanggaan dan keunggulan budaya masa lampau telah membuat sarjana muslim tidak menanggapi tantangan- tantangan yang dilemparkan oleh sarjana Barat. Padahal jika tantangan tersebut ditanggapi secara positif, maka dunia muslim dapat mengasimilasikan ilmu pengetahuan baru.[6]  
b.            Penjajahan Barat atas Dunia Muslim
Penjajahan barat atas dunia muslim telah dicatat oleh para sejarawan berlangsung sejak abad XVII hingga abad XIX M. Pada saat itu dunia muslim benar- benar tidak berdaya di bawah kekuasaan Imperialisme Barat. Dalam kondisi seperti itu, tentu tidaklah mudah bagi dunia muslim untuk menolak upaya- upaya yang dilakukan barat, terutama injeksi budaya dan peradaban modern. Bahkan pendidikan barat dan ilmu- ilmu rasionalnya telah menurunkan derajat ilmu naqliah. Ilmu pengganti barat itulah yang kemudian didominasikan dalam mata pelajaran – mata pelajaran yang diajarkan di dunia muslim.[7]
c.             Modernisasi atas Dunia Muslim
Faktor lain yang dianggap telah menyebabkan munculnya dikotomi sistem pendidikan di dunia muslim adalah modernisasi. Dengan terjadinya era modernisasi ini, umat Islam terlalu berlebihan dalam menerima budaya barat termasuk juga mengadopsi ilmu pengetahuan dan teknologinya.
  1. Dampak dikotomi  pendidikan
a.             Munculnya Ambivalensi Orientasi Pendidikan Islam
Salah satu dampak negatif dari dikotomi sistem pendidikan terutama di Indonesia adalah munculnya ambivalensi orientasi pendidikan Islam.[8] Disini bisa kita amati, dalam pendidikan pesantren masih dirasakan adanya kekurangan dalam proram pendidikannya. Misalnya saja, pendidikan dalam bidang muamalah yang mencakup penguasaan berbagai disiplin ilmu dan keterampilan. Ada anggapan bahwa seolah semua itu bukan merupakan bidang garapan Islam, melainkan garapan khusus pendidikan sekuler.
b.            Kesenjangan antar Sistem Pendidikan Islam dan Ajaran Islam.
Sistem pendidikan yang masih bersifat ambivalen mencerminkan pandangan dikotomis yang memisahkan ilmu- ilmu agama dengan ilmu- ilmu umum. Pandangan ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Islam memiliki ajraran integralistik yang mengajarkan bahwa urusan dunia tidak terpisahkan dengan urusan akhirat, akan tetapi merupakan satu kesatuan. Oleh karena itu, ilmu-ilmu umum harus dipahami sebagai bagian yang integral dari ilmu- ilmu agama.[9]
c.             Disintegrasi Sistem Pendidikan Islam
Dengan adanya dikotomi pendidikan hal ini akan membawa dampak terjadinya disintegrasi sistem pendidikan yaitu ketidakpaduan dan ketidakpastian hubungan antara pendidikan umum dan pendidikan agama. 

  1. Problem solving dikotomi pendidikan
Pendidikan Islam Terpadu merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi terjadinya dikotomi pendidikan. Tetapi pendidikan Islan Terpadu ini bisa dilakukan dengan syarat bahwa dua sistem pendidikan yang ada di negara-negara muslim itu bisa dilebur dalam satu sistem, asal dasar filosofisnya tetap Islam. Corak pendidikan Islam terpadu adalah Integrasi atau perpaduan dari berbagai sistem pendidikan yang ada, tanpa adanya dikotomi ilmu agama  dan ilmu umum. Sehingga dapat melahirkan sistem pendidikan yang dijiwai Islam.[10]
Perlu kita yakini bahwa wahyu (Al- Qur’an dan Sunnah) merupakan kebenaran mutlak, absolut yang  tak terbantahkan. Al- Qur’an sebagai ayat qauliyah memberikan informasi ilmiah kepada manusia tentang fenomena alam semesta (ayat kauniyah). Sementara itu filsafat dan ilmu sebagai produk akal manusia harus mengungkap kebenaran wahyu tersebut secara terus- menerus, sehingga kebenarannya terus terkuak dan dapat disebarluaskan ke masyarakat.
Wahyu harus terus-menerus dikaji sehingga melahirkan sebuah teori, dan pada saat yang sama teori tersebut harus dicarikan dasarnya dari wahyu tersebut. Wahyu berisi tentang informasi ilmiah yang pasti benar adanya. Oleh karena itu, tugas ilmuan harus melakukan pembenarannya melalui pengkajian dan penelitia. Dengan demikian diharapkan terjadi dialektika antara ilmu dan agama.[11]
Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan pijakan yang jelas tentang tujuan dan hakikat pendidikan., yakni memberdayakan potensi fitrah manusia secara utuh (integral) baik jasmani, rohani dan akal agar dapat menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah yang mengabdi dengan setia lewat ibadahnya.
Setelah itu manusia disiapkan untuk menjalankan misi yang dibebankan kepadanya sebagai kholifah Allah di muka bumi yang bertugas untuk mengatur, mengelola dan memakmurkan bumi dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya.
Fungsi manusia sebagai abid dan kholifah tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, pendidikan harus berusaha menyeimbangkan dan menyelaraskan kehidupan baik material maupun spiritual, individu maupun sosial, pengetahuan dan ,moral yang terintegrasi dalam kerangka yang utuh sehingga tercapai keseimbangan hidup antara dunia dan akhirat. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al- Qashas ;77
 





Dan carilah apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat. Dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbut baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, sesungguhmya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”[12].
      Dari penjelasan di atas jelas bahwa ajaran Islam tidak membedakan antara ilmu agama dan ilmu umum. Dalam arti tidak ada pandangan dikotomis mengenai ilmu pengetahuan. Kedua ilmu tersebut harus dimiliki secara integral, agar fungsi manusia sebagai abid dan kholifah dapat terlaksana dengan maksimal.
Untuk menciptakan sistem pendidikan yang terpadu yang mampu mengkomodir seluruh potensi peserta didik dengan utuh, sehingga menghasilkan manusia yang paripurna (insan kamil), maka perlu adanya keterpaduan yang harmonis dalam semua komponen pendidikannya. Adapun elemen- elemen yang harus dipadukan dalam sistem pendidikan ini, antara lain :
a. Keterpaduan Keilmuan
Para ilmuan muslim mengklasifikakan semua cabang ilmu menjadi 2 bagian, yaitu
Pertama : al-ulum al-naqliyah yaitu ilmu-ilmu yang disampaikan lewat wahyu, tetapi juga melibatkan akal, yakni ilmu-ilmu agama.
Kedua : al-ulum al- aqliyah yaitu ilmu-ilmu intelektual yang diperoleh sepenuhnya melalui penggunaan akal (rasio) dan pengalaman empiris yang disebut sains.[13]
Kedua bagian ilmu ini diibaratkan dengan dua sisi dari satu mata koin yang tidak bisa terpisahkan. Kedua ilmu agama dan ilmu umum ini di pandang sebagai suatu kesatuan yang terpadu yang harus dikuasai oleh setiap muslim untuk meningkatkan daya saing. Oleh karena itu, lembaga pendidikan Islam dalam menghadapi persaingan abad ke 21 mutlak harus melakukan perimbangan penguasaan sains dan teknologi dengan keimanan dan ketaqwaan yang dipadukan dengan proporsi yang seimbang agar tidak ketinggalan zaman.
b.Keterpaduan Kurikulum
Ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum dapat dipadukan menjadi isi materi kurikulum. Integrasi imu agam dan ilmu umum dalam kurikulum terpadu bisa dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif, artinya porsi pendidikan umum dan pendidikan agama diberikan secara seimbang. Sedangkan secara kualitatif, artinya menjadikan pendidikan umum diperkaya dengan nilai-nilai agama dan pendidikan agama diperkaya dengan muatan yang ada dalam pendidikan umum.[14]
c. Keterpaduan Tenaga Kependidikan dan sarana prasarana
Keberhasilan penyelenggaraan pendidikan sangat tergantung pada mutu dan jumlah para aktor yang melaksanakannya. Mereka adalah seluruh tenaga pendidikan yang merupakan sebuah tim yang padu dan harus solid dalam melaksanakan proses pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Proses belajar mengajar akan berjalan efektif dan efisien jika didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai.
Berbicara tentang problem solving dikotomi pendidikan, muncul pula perbincangan tentang Islamisasi Ilmu pengetahuan. Gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan muncul sebagai respon atas dikotomi antara ilmu agama dan sains yang dimasukkan bangsa barat sekuler dan budaya masyarakat modern ke dunia Islam. Kemajuan yang dicapai sains modern telah membawa pengaruh yang menakjubkan, namun disisi lain juga membawa  dampak yang negatif, karena sains modern kering nilai bahkan terpisah dari nilai agama.
Islamisasi adalah upaya membangkitkan kembali semangat umat Islam dalam ilmu pengetahuan melalui penalaran intelektual dan pengembangan ilmiah dan filosofis yang berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam Al- Qur’an dan Hadits.
Sedangkan Islamisasi ilmu pengetahuan berarti mengislamkan atau melakukan penyucian terhadap sains produk barat yang selama ini dikembangkan dan dijadikan acuan dalam wacana pengembangan sistem pendidikan Islam agar diperoleh sains yang bercorak “khas islami”. [15]
Gagasan awal islamisasi ilmu pengetahuan muncul pada saat konferensi makkah pada tahun 1977 yang di prakarsai oleh King Abdul Aziz University. Ide islamisasi ilmu pengetahuan dilontarkan oleh Ismail Raji’ al- Faruqi dalam makalahnya yang berjudul “Islamisizing social science” dan Syeh Muhammad Naquib al- Attas dalam makalahnya yang berjudul “Priliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the Aims of Education”
Sebagai penggagas utama ide Islamisasi ilmu pengetahuan, AL- Faruqi memberikan gambaran tentang bagaimana islamisasi itu dilakukan. Al- faruqi menetapkan lima program sasaran dari rencana kerja islamisasi ilmu.
1)        Penguasaan disiplin ilmu modern.
2)        Penguasaan khasanah Islam.
3)        Menentukan relefansi Islam dengan masing-masing disiplin ilmu modern
4)        Mencari cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khasanah ilmu dengan ilmu-ilmu modern
5)        Mengarahkan aliran pemikiran Islam kejalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah SWT.
Sedangkan menurut Al-Atlas, pendekatan yang dipakai adalah dengan jalan pertama-tama sains Barat harus dibersihkan dulu dari unsur-unsur yang bertentangan dengan ajaran Islam, kemudian merumuskan dan memadukan unsur islam yang esensial dan konsep-konsep kunci sehingga menghasilkan komposisi yang merangkum pengetahuan itu.
Memahami proyek Islamisasi ilmu pengetahuan dan dilontarkan oleh para cendikiawan muslim merupakan upaya positif dalam membangkitkan kembali pemikiran islam yang sedang bekembang. Walaupun mereka memiliki perspektif yang berbeda-beda, namun mereka masih berada dalam koridor Islam.
  1. Sosiologi ilmu berbicara tentang dikotomi pendidikan
Dalam sosiologi ilmu telah dijelaskan bahwa tugas dari pendidikan adalah untuk mencetak dan mempersiapkan individu agar kelak dapat menjadi agen pembangunan bagi masyarakat dan bangsanya. Karena itulah di dalam pendidikan tidak boleh terjadi dikotomi, dalam arti bahwa materi-materi pendidikan baik pendidikan umum maupun pendidikan agama tidak terjadi disintegrasi, karena apabila hal itu terjadi maka akan menimbulkan kepribadian peserta didik yang tidak sehat. Oleh karena itu dalam proses pendidikan penyampaian antara materi umum dan materi agama harus diberikan secara seimbang kepada peserta didik. Karena hal itu akan memberikan dampak yang positif dalam kehidupan sosialnya.
D.    KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas, dapat pemakalah simpulkan sebagai berikut :
1.      Dikotomi pendidikan adalah pemisahan antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik lainnya, seperti dikotomi ulama dan intelektual, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam dan bahkan dikotomi dalam diri muslim itu sendiri.
2.      Sosiologi Ilmu adalah tinjauan ilmu terhadap cara mempelajari fakta-fakta social yang fakta tersebut memiliki kemampuan untuk mengendalikan individu. Bisa disebut juga dengan penerapan ilmu ditinjau dari aspek sosiologi.
3.      Faktor penyebab munculnya dikotomi pendidikan
a.     Stagnasi Pemikiran Islam
b.   Penjajahan Barat atas Dunia Muslim
c.    Modernisasi atas Dunia Muslim
4.      Dampak dikotomi pendidikan
a.                 Munculnya Ambivalensi Orientasi Pendidikan Islam
b.    Kesenjangan antar sistem pendidikan Islam dengan ajaran Islam
c.                 Disintegrasi sistem pendidikan Islam
5.      Problem solving dikotomi pendidikan yaitu dengan cara Islamisasi ilmu pengettahuan seperti yang telah dilontarkan oleh pakar muslim yaang mana hal ini berimplikasi pada lahirnya konsep sistem pendidikan terpad.
6.      Sosiologi ilmu mengatakan bahwa dikotomi pendidikan tidak boleh terjadi karena hal  itu akan menimbulkan kepribadian peserta pendidik yang tidak sehat.


DAFTAR PUSTAKA

1.       Al Qur’an dan terjemahan, Menara Kudus.
2.     Amrullah Syaifuddin. Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi. Mizan. Bandung.1991.
3.     Departemen Pendidikan Kebudayaan Republik Indonesia. KBBI. Balai Pustaka. Jakarta. 1991. Abdullah Hamid, dkk, Pemikiran Modern Dalam Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2010, cet-1.

4.     http://jorjoran.wordpress.com/2011/04/04/dikotomi-dan-dualisme-pendidikan-di-indonesia/

5.     http://organisasi.org/definisi-pengertian-sosiologi-objek-tujuan-pokok-bahasan-dan-bapak-ilmu-sosiologi
6.     Ismail, SM. Paradigma Pendidikan Islam. Pustaka Pelajar.Yogyakarta. 2001,hlm. 83
7.     M. Zainuddin. Paradigma Pendidikan Terpadu, menyiapkan generasi ulul albab. UIN-Malang Press. Malang. 2008.


[1] M. Zainuddin. Paradigma Pendidikan Terpadu, menyiapkan generasi ulul albab. UIN-Malang Press. Malang. 2008. hlm 5.
[2] Departemen Pendidikan Kebudayaan Republik Indonesia. KBBI. Balai Pustaka. Jakarta. 1991.hlm 233.
[3] Abdullah Hamid, dkk, Pemikiran Modern Dalam Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2010, cet-1.hlm. 15

[4] http://jorjoran.wordpress.com/2011/04/04/dikotomi-dan-dualisme-pendidikan-di-indonesia/

[5] http://organisasi.org/definisi-pengertian-sosiologi-objek-tujuan-pokok-bahasan-dan-bapak-ilmu-sosiologi

[6] Ismail, SM. Paradigma Pendidikan Islam. Pustaka Pelajar.Yogyakarta. 2001,hlm. 83
[7] M. Zainuddin. Op cit. hlm 28
[8] Amrullah Syaifuddin. Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi. Mizan. Bandung.1991.hlm 102.
[9] M. Zainuddin. Op cit. hlm, 31
[10] Ibid.hlm 42.
[11] Ibid, hlm 43
[12] Al Qura’an da terjemahan, Menara Kudus.
[13] M. Zainuddin. Op cit. hlm: 42
[14] Ibid, hlm 43