Tidak ada kata terlambat untuk berbuat...dan tidak ada kata sia-sia untuk berkarya...mari kita liukkan pena kita dalam sebuah kanfas harapan agar tercipta sebuah karya yang berjudul "Pencapaian Cita"

Kamis, 02 Juni 2011

Anilisis

ANALISIS TENTANG KASUS BUNUH DIRI

Berita tentang bunuh diri.


SURABAYA - Gara -gara tidak mampu membayar SPP, Miftahul Jannah nekat mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Selepas magrib, bocah 13 tahun yang tinggal di Kelurahan Karang Semande, Kecamatan Karang Malang, Balong Panggang, Gresik, itu menggantungkan setagen sepanjang 395 cm warna putih di lehernya. Kejadian yang berlangsung di kamar korban itu diketahui kali pertama oleh Selimah, bibi korban. Saat itu Selimah baru saja datang dari sawah bersama Weni dan Sami, kakek dan nenek korban. "Saya panggil namanya, tapi kok tidak ada jawaban. Makanya saya lihat kamarnya," tutur Selimah.
Dia sangat terkejut saat menemukan anak pasangan Sutik-Supriyono (sudah cerai) itu tergantung pada setagen yang diikatkan di plafon rumah itu. Tanpa berpikir panjang, perempuan 24 tahun ini langsung menurunkan korban. Lalu didudukkan serta diberi minum. Maksudnya agar dia sadar.
Tangis mengiba dari rumah keluarga tersebut menimbulkan kecurigaan warga setempat. Para tetangga segera berdatangan ke rumah korban. Sementara itu, warga yang lain berinisitif melaporkan kejadian itu ke polisi. Tak lama kemudian, aparat dari Polsek Balong Panggang datang dan mengevakuasi serta melakukan olah TKP. Mayat korban dibawa ke RSU dr Soetomo. Sebelumnya, jenazah Mita sempat dibawa ke RSU Bunder Gresik. Hanya, keluarganya lalu disarankan untuk membawanya ke RSU dr Soetomo untuk otopsi. Menurut dr Eddy Soeyanto SpF, otopsi dilaksanakan sekitar pukul 09.00 Senin. Dari hasil otopsi diketahui bahwa korban dinyatakan bunuh diri.
Mengapa Mita bunuh diri? Atun, adik Sami, mengatakan, korban stres dan bingung karena tidak punya uang biaya tur yang akan diadakan sekolahnya. "Kalau tidak bisa bayar, katanya tidak boleh ikut rekreasi dan ambil ijazah," tuturnya. Ini diketahui dari surat terakhir yang akan dikirim korban ke orang tuanya di Bali. Surat tersebut ditemukan di tumpukan lemari pakaian korban.
Orang tua korban saat ini memang berada di Bali sebagai penjual sayuran di pasar. Mita yang sehari-hari diasuh oleh Weni-Sami mendapat kiriman uang dari Bali. "Hampir dua tahun orang tuanya tidak ke Gresik," ucapnya. Dari surat itu diketahui bahwa Mita minta kiriman uang Rp 25.000-50.000 karena uang yang dikirim sebelumnya sudah habis. Mita minta ibunya segera mengirimkan uang tersebut atau kembali ke Jawa pada bulan 6 (Juni).
 Mita juga bilang, dia tidak mau kalau harus minta ke Pak De Katiran lagi karena dia bilang tidak punya uang. Mita juga berkeluh kesah kalau sudah tidak kerasan lagi karena sering dimarahi emak embah (Wani). Bahkan, Mita juga sempat marah dan sakit hati ketika emak embahnya berkata bahwa dirinya makan dan tidur tidak membayar. Jadi, Mita minta tidak sah minta macam-macam. Hal tersebut membuat Mita sakit hati. (ai)



Referensi analisa diambil dari :

·   Kartini Kartono, Hygiene Mental, Mandarmaju, Bandung, 2000.
·   Musdalifah, Psikologi, STAIN Kudus, 2009.
·   Ken Olson, Psikologi harapan, Pusta kaPelajar, Yogyakarta, 2005


Analisis kasus.

Oleh Durroyun Nafisah


Dari deskripsi kasus diatas, sudah cukup jelas untuk kita analisa mengapa dan bagaimana kasus tersebut bisa terjadi. Sungguh ironis sekali, anak sesusia Mifta mengalami problematika seperti itu, hingga dia mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya.
Bertolok dari kata bunuh diri, bunuh diri merupakan perbuatan manusia yang disadari dan bertujuan untuk menyakiti diri sendiri dan menghentikan kehidupan sendiri.[1] Dari pengertian diatas setidaknya ada beberapa hal yang dapat kita tangkap, diantaranya ada keinginan dan kesadaran untuk mati dan memiliki motivasi-motivasi atau sebab-sebab tertentu.
Kemudian kalau kita lihat kasus Mifta, yang menjadi pertanyaan apa yang menjadi sebab terjadinya keinginan untuk bunuh diri?
Disini analisator akan memaparkan beberapa sebab terjadinya kasus Mifta yang kita hubungkan dengan teori sebab terjadinya bunuh diri. Berikut akan kita ambil 2 permasalahan tentang sebab mengapa Mifta bunuh diri,
Dari diskripsi kasus diatas Mifta melakukan bunuh diri karena tidak memiliki uang untuk membayar SPP (alasan utama) dan  Mita juga berkeluh kesah kalau sudah tidak kerasan lagi karena sering dimarahi embah (Wani). Hal itu menunjukkan karena adanya sikap depresi dan konflik batin yang dialami oleh Mifta, sedangkan kalau kita lihat dalam teori Sebab terjadinya bunuh diri,
Depresi merupakan sebab yang paling banyak mendasari adanya kasus bunuh diri, karena ada indikasi bahwa sebagian besar orang yang melakukan bunuh diri tengah dilanda depresi saat melakukan bunuh diri.[2] Permasalahan yang dialami Mifta cukup memberi pengaruh besar terhadap kehidupan psikisnya, di usia Mifta yang sedini itu, dia sudah dihadapkan dengan bermacam persoalan yang cukup berat untuk anak seusia itu, beban mental akibat kekurangan kasih sayang karena ditinggal orang tua yang berpisah (cerai) dan tinggal jauh dari Mifta juga member efek terendiri terhadap psikis Mifta, sehingga timbul keputusasaan, sehingga muncul  keinginan untuk melepas semua beban dengan cara singkat, dalam hal ini moral yang sebagai benteng tingkah laku roboh karena keputusasaan dan desakan dari keinginan untuk melepas semua bebannya, dan jalan yang tepat serta dianggap pantas oleh Mifta adalah bunuh diri.
Sedangkan dari jenis depresi, kasus Mifta merupakan Jenis dari Depresi reaktif.
Depresi reaktif merupakan akibat dari reaksi pukulan-pukulan dalam kehidupan yang tidak berhenti dengan keputusasaan yang mengandung kesedihan mendalam.[3] Pengertian ini bila dikaitkan dengan kasus Mifta, cukup mewakili bahwa sebab Mifta melakukan bunuh diri, karena Mifta merasa putus Asa dengan kondisinya yang terpaksa bunuh diri karena tidak kuat menanggung beban untuk membayar SPP dan Tour yang akan dilaksanakan oleh sekolahnya, dan diperparah lagi ada ancaman dari pihak sekolah bahwa jika tidak bisa membayar biaya study tour, tidak boleh ikut rekreasi dan mengambil ijazahnya. Hal tersebut menjadikan Mifta putus asa dengan kesedihan yang mendalam.
Kasus Bunuh diri Mita juga bisa digolongkan dalam kategori sebab bunuh diri karena Konflik batin, yaitu stress yang bersumber dari konflik batin atau pertentangan didalam pikiran orang yang bersangkutan.[4] Hal ini terbukti bahwa selain Mifta tidak bisa membayar SPP dan Tour, Mifta juga merasa tidak betah dengan kondisi dirumahnya, karena sering dimarahi oleh neneknya. Hal tersebut sebenarnya sudah berlaku lama, namun Mifta mencoba bertahan dengan kondisi tersebut dan dia hanya bisa berkeluh kesah. Apalagi ditambah ejekan dari neneknya bahwa Mifta makan dan tidur tidak membayar. Hal tersebut menimbulkan adanya konflik batin dalam dirinya.
Sedangkan kalau dilihat dari segi type bunuh diri yang dilakukan Mifta, kasus tersebut manurut analisator merupakan Type Bunuh diri Anomis, menurut Durkheim bunuh diri anomis merupakan keadaan moral ketika orang yang bersangkutan kehilangan cita-cita, tujuan dan norma dalam hidup. Dalam kasus ini individu kehilangan tujuan dan pegangan. Masyarakat atau kelompoknya tidak dapat memberikan kepuasan kepadanya karena tidak ada pengawasan terhadap kebutuhan-kebutuhannya.[5] Hal ini sangat jelas sekali dalam kasus Mifta, Mifta merasa tidak ada pengawasan terhadap kebutuhan-kebutuhannya, karena jauh dari orang tua.
Kemudian dalam bukunya Kartini Kartono, meyebutkan adanya type bunuh diri personal, yang banyak terjadi pada masa modern, karena orang merasa lebih bebas dan tidak mau tunduk pada aturan. Sebaliknya, mereka mencari jalan singkat dengan caranya sendiri, yaitu bunuh diri, untuk mengatasi kesulitan hidupnya.[6] Hal tersebut sangat tergambar jelas dalam kasus Mifta, karena dia lebih memilih mengakhiri hidupnya dengan jalan bunuh diri.
Sedangkan faktor-faktor yang menyebabkan Kasus Mifta bunuh diri dalam teori adalah faktor sosiologis dan faktor ekonomi, faktor sosiologis berupa disintegrasi sosial yang mengakibatkan disintegrasi personal. Hal ini terbukti pada sebab kedua yang dialami oleh Miftah, yaitu pengucilan dari neneknya kepada Miftah, sehingga Miftah terasa dikucilkan.
Yang kedua adalah faktor ekonomi yang sangat jelas memberikan kontribusi yang besar dalam kasus ini. Karena alasan utama mengapa Mifta Bunuh diri adalah faktor ekonomi.
Demikianlah ulasan dari analisator, kurang lebihnya mohon maaf.

1 komentar: